Rabu, 17 September 2008

Payudara Besar Rentan Diabetes Lho . .

Bagi seorang perempuan, ukuran payudara menjadi faktor penting yang memengaruhi kepercayaan diri, terutama dari segi keindahan dan penampilan. Hampir sebagian besar perempuan di dunia ini berlomba-lomba untuk memperbesar payudara agar terlihat seksi. Namun ukuran payudara ternyata tak sebatas memengaruhi penampilan saja.
Menurut sebuah riset terbaru, ukuran payudara -- khususnya saat usia remaja -- dapat dijadikan indikator apakah seorang perempuan memiliki risiko terhadap penyakit diabetes tipe 2 di kemudian hari.
Seperti dimuat dalam Canadian Medical Association Journal bahwa ada kaitan antara ukuran payudara dengan risiko diabetes. Para peneliti dari Universitas Toronto dan Harvard Medical School, Kanada menganalisis kumpulan data dari sekitar 92.000 perempuan yang dilibatkan dalam Nurse's Health Study II di Amerika Serikat.
Dari hasil analisis, peneliti menemukan fakta bahwa para perempuan yang memakai bra (beha) ukuran D pada usia 20 ternyata sekitar 60 persen berisiko lebih besar mengidap diabetes tipe 2, ketimbang mereka yang berukuran lebih kecil. Risiko diabetes pun tampak meningkat secara progresif seiring dengan bertambahnya ukuran payudara.
Riset yang dilaporkan surat kabar Toronto Star itu juga mengungkapkan bahwa perempuan yang mencatat index massa tubuh (BMI) tinggi ditambah memiliki payudara besar saat berusia 20 berisiko 4 kali lipat mengidap diabetes tipe 2, ketimbang mereka yang mencatat BMI rendah dan payudara berukuran kecil.
Obesitas atau kegemukan, khususnya yang berhubungan dengan penumpukan lemak di perut, sejauh ini memang dikenal sebagai salah satu faktor utama yang membuat seseorang rentan terhadap penyakit diabetes tipe 2. Melalui riset terbaru itu, peneliti mengidikasikan bahwa cadangan lemak di payudara perempuan mungkin menjadi faktor independen yang memperbesar risiko diabetes.
Payudara terdiri dari kumpulan kelenjar dan jaringan lemak yang terletak di antara kulit dan tulang dada. Kelenjar di dalam payudara akan menghasilkan susu setelah seorang perempuan melahirkan. Kelenjar-kelenjar susu disebut lobule yang membentuk lobe atau kantung penghasil susu. Sisa bagian dalam payudara terdiri dari jaringan lemak dan jaringan berserat yang saling berhubungan, yang mengikat payudara dan mempengaruhi bentuk dan ukuran.
Para peneliti juga mengingatkan bahwa riset ini masih dalam tahap awal, sehingga masih perlu ada penelitian lainnya untuk membuktikan sekaligus menguji kemungkinan hubungan antara ukuran payudara dan risiko.
Kendati masih berupa penelitian awal, kecurigaan itu patut ditindaklanjuti. Karena dalam 10 tahun terakhir ini penderita diabetes di dunia meningkat tajam. Bahkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menjuluki penyakit diabetes sebagai epidemi terbesar yang akan dialami manusia pada abad ini.
WHO mencatat, jumlah penderita diabetes di dunia saat ini mencapai lebih dari 230 juta jiwa. Jumlah itu diperkirakan akan terus meningkat menjadi 350 juta jiwa pada 2025.
Seperti dikemukakan pakar diabetes Indonesia, Prof Dr Sidartawan Sugondo bahwa diabetes melitus atau penyakit kencing manis itu juga telah menjadi masalah di Indonesia. Sebab, Indonesia telah berada pada peringkat keempat jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia, setelah China, India dan Amerika Serikat.
"Jumlah orang Indonesia yang terkena gangguan metabolisme yang berhubungan dengan hormon insulin atau tipe 2 diperkirakan mencapai 14 juta jiwa," kata Prof Sidartawan yang ditemui terpisah, di Jakarta, belum lama ini.
Merujuk pada data Departemen Kesehatan 2000 disebutkan ada sekitar 8,4 juta penderita diabetes di Indonesia atau 1,9 persen dari populasi. Pada 2030 jumlahnya diperkirakan meningkat menjadi 21,3 juta orang atau 2,8 persen.
Tak hanya jumlah penderita diabetes terbesar nomor empat di dunia, tapi jumlah orang pre-diabetes di Indonesia juga tergolong tinggi. Sidartawan mengatakan, kasus pre-diabetes mencapai 12,9 juta pada 2003.
"Jumlah kasus prediabetes itu berada di urutan kelima dunia. Karena itu, jumlah prediabetes diperkirakan meningkat menjadi 20 juta pada 2025," tuturnya. Sidartawan mengemukakan, kondisi itu diperparah oleh tingkat kekerapan diabetes yang mencapai 14,7 persen. "Ternyata, di Indonesia, baru separuh dari penderita diabetes yang menyadari tentang penyakit mereka dan berobat secara teratur ke rumah sakit," ujarnya.
Ketidaksadaran itu disebabkan gejala-gejala diabetes yang tidak menunjukkan "kesakitan". Justru kondisi gejala itu menunjukkan sebaliknya, dimana pasien menjadi doyan makan dan minum, serta banyak buang air kecil (kencing).
Guna terhindari penyakit diabetes melitus, penting untuk diketahui faktor penyebab penyakit diabetes.
Prof Sidartawan menjelaskan, penyakit diabetes merupakan penyakit kelainan metabolisme yang disebabkan kurangnya hormon insulin. Hormon insulin dihasilkan oleh sekelompok sel beta di kelenjar pankreas dan sangat berperan dalam metabolisme glukosa dalam sel tubuh. Kadar glukosa yang tinggi dalam tubuh tidak bisa diserap semua dan tidak mengalami metabolisme dalam sel.
Akibatnya, seseorang akan kekurangan energi, sehingga mudah lelah dan berat badan terus turun. Kadar glukosa yang berlebih tersebut dikeluarkan melalui ginjal dan dikeluarkan bersama urine. Gula memiliki sifat menarik air sehingga menyebabkan seseorang banyak mengeluarkan urine dan selalu merasa haus.
Diabetes mellitus diartikan pula sebagai penyakit metabolisme yang termasuk dalam kelompok gula darah yang melebihi batas normal arau hiperglikemia (lebih dari 120 mg/dl). Karena itu DM sering disebut juga dengan penyakit gula.
Sekarang, penyakit gula tidak hanya dianggap sebagai gangguan metabolisme karbohidrat, tetapi juga menyangkut metabolisme protein dan lemak. Akibatnya DM sering menimbulkan komplikasi yang bersifat menahun (kronis), terutama pada struktur dan fungsi pembuluh darah. Jika hal ini dibiarkan begitu saja, akan timbul komplikasi lain yang cukup fatal, seperti penyakit jantung, ginjal, kebutaan, aterosklerosis, bahkan sebagian tubuh bisa diamputasi.
Diabetes melitus sering disebut dengan the great imitator, yaitu penyakit yang dapat menyerang semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai keluhan. Penyakit ini timbul secara perlahan-lahan, sehingga seseorang tidak menyadari adanya berbagai perubahan dalam dirinya.
Perubahan seperti minum menjadi lebih banyak, buang air kecil menjadi lebih sering, dan berat badan yang terus menurun, berlangsung cukup lama dan biasanya cenderung tidak diperhatikan, hingga seseorang pergi ke dokter dan memeriksa kadar glukosa darahnya.
"Para penderita biasanya merasa sehat-sehat saja, karena badan tidak terasa sakit. Malah makan dan minumnya kuat, dan merasa sering buang air sebagai dampak dari banyak minum. Ketika tiba-tiba buta atau pingsan, baru ketahuan kalau gula darahnya sudah 'setinggi langit'," kata Prof Sidartawan.
Ia menjelaskan, diabetes terbagi dalam dua jenis, yaitu diabetes tipe 1 yang diperoleh sejak kecil. Pada tipe 1, pankreas mengalami kerusakan sehingga tidak dapat lagi mensekresi hormon insulin. Karena itu terapinya hanya insulin. Pasien tipe itu hidupnya sangat tergantung pada pemakaian insulin.
Sedangkan diabetes tipe 2, hormon insulin yang dihasilan tidak cukup dan tidak dapat bekerja dengan semestinya. Sehingga, kadar gula dalam darah menjadi tinggi yang biasa disebut hiperglikemi dan terjadi gangguan metabolisme dan kerja sel-sel tubuh.
"Lebih dari 90 persen kasus diabetes termasuk tipe 2 dan menunjukkan peningkatan angka kejadian," tutur Prof Sidartawan.
Penatalaksanaan diabetes meliputi normalisasi kadar gula darah dan mencegah komplikasi. Lebih khusus yaitu dengan menghilangkan gejala, optimalisasi parameter metabolik, dan mengontrol berat badan.
"Bagi pasien diabetes tipe 1, terapi utamanya adalah insulin. Terapi konvensional untuk pasien diabetes tipe 2 biasanya dimulai dengan anjuran perubahan gaya hidup. Selain penggunaan obat oral seperti metformin dari golongan biquanid. Terapi kombinasi berbasis metformin, sering lebih superior dibandingkan dengan terapi obat anti diabetes oral (OADO) tunggal," tuturnya.
Untuk itu, Prof Sidartawan menilai, pentingnya bila diabetes dapat terdiagnosa dan mendapat perawatan lebih dini dalam rangkaian penyakit-penyakit yang mengikutinya. Penanganan yang lebih dini selama tahap gejala diabetes dapat mengurangi risiko untuk menjadi diabetes dan penyakit kardiovaskular.
Ia meminta kepada orang-orang yang berisiko tinggi terhadap diabetes tipe 2 untuk segera mendapatkan bimbingan dan penyuluhan mengenai gaya hidup. Bila perlu mengkonsumsi obat-obatan antidiabetes oral untuk mengurangi risiko terkena diabetes, selain juga dapat menurunkan risiko akan berkembangnya penyakit jantung bagi orang-orang yang mengidap penyakit toleransi glukosa terganggu.

Tidak ada komentar: